Warning : 18+
Sebenarnya bukan hari ini, kemarin lebih tepatnya.
Keributan ini disponsori oleh tunangan saya yang entah kenapa, saya cintai.
Saya adalah perempuan yang baru saja bertunangan. Semestinya, masa-masa selepas bertunangan adalah masa-masa yang membahagiakan dan ceria. Tapi, saya tidak.
Hal ini bermula ketika tunangan saya, sebut saja mas M, mulai lebih intens dalam melakukan skinship. Sebut saya kolot, selama 22 tahun lebih, untuk pertama kalinya, saya mengalami ciuman. Lebih tepatnya, french kiss.
Rasanya aneh dan membingungkan. Tapi di sisi lain, saya penasaran.
Awalnya saya pikir hal ini wajar untuk pasangan. Sekali-dua kali, ternyata saya terganggu.Terutama, karena Mas M sendiri mulai berani untuk menyentuh bagian-bagian lain dari tubuh saya.
Saya tidak nyaman. Saya tertekan.
Puncaknya, kamis minggu lalu ketika saya dan Mas M jalan-jalan dan mampir ke rumahnya, saya dipaksa untuk berciuman.
Tentu saja, saya menolak dengan tegas. Saya mendorong bahunya dan mencoba bangun dari duduk. Saya mengatakan dengan jelas bahwa saya tidak mau.
Mas M berang.
Dia lalu membuka pintu dan men-starter motornya untuk mengantarkan saya kembali ke kosan.
Saya? Terdiam. Separuh kaget dengan bunyi pintu dan sikapnya yang berubah kasar.
Berulang kali Mas M mulai mengatakan hal seperti: Ah, jadi malas! Kamu nggak asik! Sok Kyai!
Hari yang tadinya mau saya nobatkan jadi salah satu hari terbaik bulan ini berubah menjadi hari terburuk.
Secepat itu. Sesingkat itu.
Translate :
- Minggu nggak jadi ke sini, sudah malas aku.
- Kamu gak asik lagi, deh.
- Kok gak jadi?
- Standard asik menurut kamu, apa?
- Kalau mau ke sini ya ke sini sendiri, gak ke sini ya sudah nggak usah. Nggak apa-apa.
- Apa kalau setiap aku bilang: 'Ndak,' kamu bakalan kaya gini?
- Atau apa aku nggak punya hak untuk bilang tidak?
- Mas, aku seneng banget ngobrol bareng mas, ketemu Ibu, cerita-cerita soal kegiatan kemarin, nyari-nyari tempat bakso, terus ngenalin tela-tela (gorengan ketela) andalan anak kosan.
- Aku seneng banget.
- Aku beneran seneng.
- Makasih yaa untuk hari ini.
- Ya sudahlah, aku kan bilang minggu nggak jadi. Ya sudahlah minggu depan lagi.
- Bukan apa, kamu gak biasanya aja kaya gitu, tadi aja aku males nerusin. Nggak usah sok nahan deh, lah sudah biasa. Yang penting tahu batasan.
- Ya sudah jadi pribadi masing-masing lah memang sudah biasa.
- Toh, kita juga udah mau ke jenjang serius.
- Ya sudahlah terserahmu, aku sudah malas.
- Sok-sok apa aduuuh
Saya menahan tangis sambil bertanya-tanya: Apakah tindakan saya benar?
Chat tersebut tidak saya balas, baru saya balas keesokan paginya ketika saya merasa lebih tenang.
Semarah apapun, sekesal apapun, saya tetap berusaha menjaga komunikasi dengan Mas M. Tapi chat saya tidak di balas. Padahal, dia online. Sehari pertama, oh mungkin dia masih kesal. Hari ke dua, oh dia barangkali sibuk. Hari ke-tiga saya disadarkan teman bahwa:
Sesibuk apapun seorang laki-laki, kalau dia mau, dia bakal balas chat yang dianggap dia penting.
Hari senin kemarin, saya masuk kerja bebarengan dengan Mas M yang masuk siang juga. Selama ini tempat kerja saya ada bagian shift dan non shift. Saya adalah karyawan nonshift artinya masuk pagi terus. Sementara Mas M, masuk shift tergantung dengan kebijakan manajemen.
Saya berpikir barangkali Mas M masih perlu waktu. Jadi, saya mencoba menghubunginya dulu. Mengatakan bahwa saya berangkat duluan.
Tahu apa responnya?
- Translate
- Mas aku berangkat duluan yaa
- Hati-hati di jalan
- Heh, maksudmu apa hah?
- Jangan kaya tai kalau jadi orang
- Kamu cari gara-gara terus
- Pasti kalau sama **** & **** (teman kosan) ini mesti jadi kaya sil*t (dubur)
- Tailaah
- Nggak seneng ya kalau nggak bikin gara-gara
- Ngomong kasar enggak nyelesaiin masalah mas
- Mbok yaa mikir kalau mau apa-apa
- Udah tahu aku kaya gini masih di panas-panasin
- Sil*t memang satu ini
- Tetap aja kamu ituu
- Sepedanya balikin nanti
- Jangan kaya tai
- Balesen Silit, giliran balas temennya cepet.
- Anjirlah
- Woyy denger nggak
- Taiiilaah
- Heh
- Wooo sumpah
- Iya
- Sumpah ngeselin anak ini
Dear teman quora, mohon maaf saya belum bisa menerjemahkan semua. Saya menulis ini sambil menangis. Saya tidak tahu ke depannya.
Saya bingung.
Mohon doa untuk keputusan yang terbaik.
Edit: saya membaca setiap saran dan komentar dari sahabat Quora. Terima kasih untuk masukannya. Saya akan mencoba berunding dengan keluarga besar. Mohon doanya, ya. :)